Pandangan Beberapa Fraksi Di DPRD Kota Bandung Terkait Pajak Dan Retribusi Daerah
PILARGLOBALNEWS,-- Rapat Paripurna DPRD Kota Bandung dalam menyampaikan
pandangan umum terkait Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Atas Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlangsung pada Senin, 17 Februari 2025 Di Gedung Wakil Rakyat jalan Sukabumi Kota Bandung .
Rapat paripurna tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRD Kota Bandung, Dr. H. Edwin Senjaya S.E., M.M., bersama Wakil Ketua I DPRD Kota Bandung, Toni Wijaya, S.E., S.H., Wakil Ketua III DPRD Kota Bandung Rieke Suryaningsih, S.H., serta dihadiri para Anggota DPRD Kota Bandung serta hadir juga Pj Wali Kota Bandung A. Koswara beserta Sekda Kota Bandung dan jajaran pimpinan OPD.
Adapun beberapa Fraksi yang menyampaikan pandangan umumnya seperti :
Fraksi Partai Golkar sepakat bahwa Pemerintah Kota Bandung harus mampu mempertahankan penerimaan yang diperoleh dari pajak daerah, khususnya yang memiliki jumlah penerimaan besar seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, PBB dan BPHTB, agar mampu melakukan pembangunan dan pengelolaan daerah dengan baik dan terus meningkat.
Dapat dicermati bersama bahwa di Kota Bandung banyak sekali berdiri restoran dan kafe, sebagaimana data yang diperoleh dari Open Data Kota Bandung dengan jumlah pertumbuhan restoran, rumah makan, kafe, dan bar di kota Bandung terus meningkat sebagaimana tercatat pada data yang diakses pada tanggal 15 Februari 2025 terdapat 3974 rumah makan, restoran, dan kafe. Tentunya hal tersebut mempengaruhi penerimaan pajak daerah.
Berlakunya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD) ini selama kurang lebih satu tahun, dan setelah adanya telaahan dari Kementerian Keuangan, perlu dilakukan perbaikan dan penyelarasan.
Terdapat beberapa hal yang perlu Fraksi Partai Golkar sampaikan mengenai Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bandung Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD).
Pertama, perlu dilakukan sosialisasi yang masif mengenai penerapan atas peraturan pajak ini. Kedua, perlu dilakukan pendataan yang akurat wajib pajak secara berkala. Ketiga, meningkatkan integritas petugas ASN pelayanan pajak Pemerintah Kota Bandung.
Setelah Fraksi Partai Golkar membaca dan melakukan review terhadap Perubahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bandung Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD), Fraksi Partai Golkar juga memberikan beberapa saran dan masukan.
Pertama, bahwa penguraian klasifikasi terhadap PBJT atas tenaga listrik pada Pasal 29 ayat (3) kiranya untuk dibuat kajian dengan saksama sehingga mencerminkan rasa keadilan dan kelayakan.
Kedua, dihapusnya jenis Pelayanan Pasar dari Pelayanan Retribusi Jasa Umum yang tidak dan/atau belum dipungut oleh Pemerintah Kota Bandung sebagaimana tertuang dalam perubahan Pasal 55 Raperda ini merupakan langkah tepat, mengingat jenis retribusi ini berhubungan erat dengan hajat hidup masyarakat pada umumnya.
Ketiga, bahwa dengan memberikan keringanan, pengurangan dan penundaan atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi melalui Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk untuk itu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Raperda tersebut diharapkan dapat memaksimalkan pendapatan daerah yang ditopang atas fleksibilitas system dan kepatutan.
Keempat, perlu diciptakan kolaborasi sinergitas antar pemangku kepentingan dalam hal peningkatan pelayanan secara terpadu.
Fraksi Partai Golkar pada dasarnya akan senantiasa mendukung kebijakan Pemerintah Kota Bandung dalam kaitannya dengan peningkatan pelayanan publik dan upaya pengelolaan perekonomian daerah demi tujuan untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan.
Fraksi Gabungan Nasional Demokrat memahami dan bersepakat bahwa Raperda tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah harus berdasar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengamanatkan wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.
Kewenangan pemerintah daerah adalah membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan”.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 ini berkaitan dengan kewenangan daerah dalam menetapkan peraturan daerah. Peraturan daerah ini dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
Selain itu, pemerintah daerah juga berhak melakukan pengeluaran kas untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Pengeluaran ini dilakukan untuk kelancaran penyelenggaraan roda pemerintahan dan untuk menjamin kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat.
Dalam rangka mendukung pembangunan dan pelayanan publik, Pemerintah Kota Bandung sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengelola sumber pendapatan asli daerah, salah satunya melalui pajak daerah dan retribusi daerah. Kedua instrumen fiskal ini berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memperkuat kemandirian fiskal daerah.
Pajak daerah merupakan kontribusi wajib yang dibayarkan oleh individu atau badan kepada pemerintah daerah tanpa adanya imbalan langsung. Meskipun tidak ada manfaat langsung yang diterima oleh wajib pajak, hasil dari pajak daerah digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan kesehatan, pendidikan, serta berbagai sektor lainnya yang memberikan dampak luas bagi masyarakat.
Pajak daerah yang dikelola oleh pemerintah kota, seperti pajak hotel, restoran, hiburan, dan pajak bumi dan bangunan. Sementara itu, retribusi daerah adalah pungutan yang dikenakan kepada masyarakat atas pemanfaatan layanan atau fasilitas yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Berbeda dengan pajak, retribusi memberikan manfaat langsung kepada pembayarnya dalam bentuk jasa atau perizinan tertentu. Misalnya, retribusi parkir memberikan hak bagi pengguna kendaraan untuk memanfaatkan tempat parkir yang disediakan oleh pemerintah, sementara retribusi perizinan seperti izin mendirikan bangunan (IMB) memastikan legalitas suatu bangunan.
Fraksi Gabungan Nasional Demokrat menilai, kedua sumber pendapatan ini menjadi pilar utama dalam pembiayaan pembangunan daerah. Dengan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, pajak daerah dan retribusi daerah dapat menjadi motor penggerak dalam menciptakan lingkungan yang lebih maju, tertata, dan sejahtera bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi sangat diperlukan agar manfaatnya dapat dirasakan secara luas dan berkelanjutan.
Menimbang dari Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah hasil dari evaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, terdapat beberapa materi pengaturan yang perlu dilakukan perubahan.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Fraksi Gabungan Nasional Demokrat berharap Raperda ini dapat meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dan retribusi, memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, serta mendukung pembangunan dan pelayanan publik di Kota Bandung.
Berdasarkan hal tersebut maka Fraksi Gabungan Nasional Demokrat menilai perlu dilakukan Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan dua instrumen utama dalam kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan dan meningkatkan pelayanan publik. Pajak bersifat wajib dan tidak ada imbalan langsung bagi pembayarnya, sementara retribusi adalah pungutan yang dikenakan atas layanan atau fasilitas tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Dalam konteks pembangunan daerah, pajak dan retribusi memiliki peran strategis dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang pada akhirnya digunakan untuk membiayai berbagai sektor seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta program kesejahteraan sosial lainnya.
Dari perspektif Islam, prinsip keadilan, kemaslahatan, dan keseimbangan dalam ekonomi menjadi dasar dalam penerapan pajak dan retribusi. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan adil dan transparan, memastikan bahwa hasil pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat dan tidak menimbulkan beban yang berlebihan bagi masyarakat. Setelah membaca dan mencermati Penjelasan Pj Wali Kota atas Rancangan Peraturan Daerah terkait Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Fraksi PKB memberikan pandangan umumnya, sebagai berikut:
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Kota Bandung mengapresiasi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika kebijakan fiskal nasional dan kebutuhan daerah, perubahan ini diharapkan mampu menciptakan tata kelola pajak dan retribusi yang lebih efektif, adil, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat Kota Bandung. Sebagai bagian dari kebijakan fiskal daerah, perubahan ini harus berorientasi pada keadilan sosial, kesejahteraan masyarakat, serta pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Dalam Islam, konsep pajak dan retribusi memiliki keterkaitan dengan maqashid syariah (tujuan syariat), terutama dalam hifzh al-mal (perlindungan harta) serta maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum).
2. Dalam perspektif ushul fiqh, kebijakan fiskal, termasuk pajak dan retribusi daerah, harus berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Dalam pandangan Fraksi PSI, posisi saat ini tidak tepat untuk mengubah pelayanan pasar yang terkait langsung dengan biaya yang harus ditanggung oleh pembeli untuk kebutuhan bahan-bahan pokok dan bahan makanan lainnya yang dijual di pasar.
Selanjutnya perubahan dalam Pasal 73 khususnya ayat (3a) menurut pandangan Fraksi PSI sangat berkaitan dengan Pasal 1 tentang Harga Satuan Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat HSBGN dan Indeks Lokalitas yaitu persentase pengali terhadap SHST yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kota.
HSBGN menjadi acuan untuk menetapkan sewa maupun kerja sama pemanfaatan, di mana kalau Pemerintah Kota telah mengeluarkan biaya besar untuk suatu gedung, penyewaannya juga harus memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan tersebut.
Adapun penetapan Peraturan Wali Kota untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah harus selalu memperhatikan nilai aset dan besar biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya oleh Pemerintah Daerah Kota.
Selain itu Fraksi PSI berharap ada penelitian lebih lanjut terkait dengan dampak dari tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang ditetapkan sebesar 40 persen terhadap perkembangan pariwisata di Kota Bandung.
Fraksi PSI menduga bahwa dengan besaran 40 persen ini berpotensi menurunkan volume usaha di bidang pariwisata dan kontradiktif dengan upaya untuk menjadikan Kota Bandung sebagai tujuan wisata, terutama wisatawan mancanegara.
Dalam kesempatan ini, Fraksi PSI juga ingin menyoroti tentang tingginya harga tanah dan bangunan, termasuk harga sewa bangunan untuk usaha di Kota Bandung. Akibatnya kita melihat semakin banyak bangunan kosong dalam jangka waktu lama di Kota Bandung, yang berdampak mengganggu penampilan dan tata kota serta berpengaruh kepada laju perekonomian Kota Bandung karena tingginya biaya tempat.
Oleh karena itu, menurut pandangan Fraksi PSI dalam Raperda ini dapat dibuat ketentuan tambahan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan lebih tinggi 100 persen kepada bangunan di area tertentu untuk usaha yang kosong dalam jangka waktu panjang, antara lain lebih dari dua tahun.
Hal ini sepadan dengan kerugian yang diderita oleh masyarakat Kota Bandung karena bangunan yang kosong dan seringkali tidak terurus, nampak kumuh, dan merusak keindahan lingkungan Kota.
Dengan pengaturan ini, selain menjadi tambahan Pendapatan Asli Daerah, Fraksi PSI berharap peraturan ini mendorong pemilik bangunan untuk menurunkan biaya sewa, sehingga terjadi kegiatan ekonomi di bangunannya yang memberikan dorongan pergerakan ekonomi lebih lanjut, membuka lapangan kerja, serta lebih cepat memulihkan perekonomian Kota Bandung. (Redaksi)
Tidak ada komentar