" Menyelaraskan Data Piutang Pajak Bumi dan Bangunan "
PILARGLOBALNEWS,-- Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Jawa Barat sedang menyelaraskan data piutang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikelola Pemkot Bandung supaya terstruktur sesuai dengan standar BPK. Selama 35 hari Tim BPK akan menganalisa serta mengevaluasi data yang dikelola Pemkot Bandung tersebut.
"Out put analisa oleh BPK akan bermuara pada rekomendasi dan masukan untuk Pemkot Bandung. Rekomendasi tersebut diharapkan mampu mendongkrak pendapatan daerah melalui PBB," ungkap Kepala Perwakilan BPK Provinsi Jawa Barat, Arman Syifa pada Entry Meeting Pemeriksaan Kinerja Pendahuluan atas PBB-P2 di Pendopo Kota Bandung, Jln. Dalem Kaum, Senin (30/7/2018).
Entry meeting dihadiri Wali Kota Bandung, M. Ridwan Kamil yang didampingi Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah (BPPD) Kota Bandung, Ema Sumarna. Dalam entry meeting tersebut, sekain menyelaraskan data, juga dilakukan pemeriksaan kinerja pendahuluan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun 2017 dan semester I Tahun 2018. Data tersebut merupakan catatan piutang pajak yang kewenangannya telah berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Arman menuturkan, ada beberapa langkah yang menurut BPK perlu lebih diperhatikan oleh Pemkot Bandung. "Output-nya rekomendasi kinerja untuk perbaikan-perbaikan. Nanti rekomendasi ini akan kami sampaikan langsung melalui BPPD,” kata Arman.
Sementara itu, Wali Kota Bandung, M. Ridwan Kamil menyambut baik proses proses yang sedang dilakukan BPK dan Pemkot Bandung. Ia berharap, pemeriksaan BPK terhadap data piutang PBB Kota Bandung bisa membuka jalan bagi Pemkot untuk bekerja semakin optimal.
“(Piutang) itu memang sedang kita sisir dengan program sensus yang dilakukan bersama ITB. Tujuannya supaya kita pahami posisinya,” katanya.
Ridwan Kamil mengungkapkan, Kota Bandung memiliki kebijakan khusus mengenai PBB. Perhitungan kebijakan Pajak Bumi Bangunan harus mengusung prinsip keadilan. Pemkot Bandung menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosial yang digunakan saat menentukan besaran PBB.
“Kami menggunakan kebijakan sosiologis politis, tidak semua orang ditagih begitu saja. Untuk kondisi tertentu, misalnya yang sangat miskin kita nolkan atau organisasi sosial yang perlu kita bantu,” katanya.
Adanya subsidi PBB bagi warga miskin, sama sekali tidak merugikan negara. Bahkan dengan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) oleh BPPD, pemerintah mampu mendongkrak lebih banyak pemasukan.
“Itu kebijakan yang kita lakukan. Kan tujuan negeri ini adalah adil dan makmur. Adil itu menempatkan sesuai takaran yang tepat, tidak bisa hanya pakai kacamata matematika, tetapi juga kacamata rasa, etika, sosiologis, dan lain-lain. Inilah cara kami mewujudkan rasa adil,” ujarnya.
Tidak ada komentar